Sebelumtenarnya nama muballigh Zainuddin MZ ada nama muballigh sangat kondang dari Blitar. Beliau adalah KH. Yasin Yusuf, lahir di Kademangan tahun 1934 dan wafat pada tahun 1992. Gaya pidato dan ceramahnya yang khas membuat belasan ribu orang setiap Minggu Wage rela berbondong-bondong datang ke Alun-Alun Blitar untuk mendengarkan ceramah
Di Blitar pernah ada seorang kiai yang kharismatik yang keilmuannya dikenal dan dikagumi oleh kalangan istana negara. Muballigh kharismatik ini dipercaya memiliki ilmu ladunidikenal banyak kalangan mulai masyarakat perkotaan dan pedesaan se Indonesia, terlebih pada era Presiden Soekarno hingga Presiden Soeharto. Sebab, setiap acara keagamaan seperti Maulid Nabi yang diselenggarakan oleh istana Negara sering melibatkannya sebagai penceramah adalah KH. Yasin Yusuf yang dilahirkan pada tahun 1934 di Kademangan Blitar dari seorang ayah bernama Kiai Yusuf yang dikenal kaya dan sangat dermawan. Semasa masih remaja, kira-kira pada tahun 1953, Kiai Yasin menyelesaikan pendidikan formalnya dari Madrasah Ibtidaiyah Nahdlatul Ulama MINU Blitar. Sembari sekolah di MINU, Kiai Yasin nyantri di Pesantren Dawuhan Kademangan Blitar yang saat itu diasuh oleh KH. Zahid Syafi’i menjadi pengasuh tahun 1951-1981. Pesantren yang berdiri di tahun 1873 ini berjarak sekitar 500 meter dari komplek Makam Ir. Soekarno di tengah Kota Blitar. Kini, pesantren ini sudah berganti nama menjadi Pesantren Bustanul Muta’allimin Blitar. Dalam proses menempuh jenjang pendidikannya, Kiai Yasin Yusuf tergolong cukup Yasin dikaruniai dua orang putri dari seorang istri yang pertama. Namun, setelah istri pertama wafat, Kiai Yasin menikah lagi dengan Nyai Mukhtatimah yang dikenal dengan panggilan Ibu Nyai Yasin. Dengan Nyai Mukhtamimah, dikaruniai satu putra dan kelak menjadi pengasuh pondok yang didirikan oleh Kiai Yasin. Pondok pesantrennya diberinama Pondok Luqmanul Hakim yang sampai saat ini masih berdiri dan dilanjutkan oleh putra dan Nyai Mukhtatimah di Singa PodiumSejak masih kecil, Kiai Yasin sudah dikenal sangat pandai berpidato dan pertama kali berceramah di atas panggung pada tahun 1953. Gaya berpidato Kiai Yasin sangat khas dan berbeda dari banyak ulama saat itu. Selain mampu menirukan bermacam-macam suara binatang, pesawat terbang, tembakan meriam, bom meledak, dan lain-lain, terkadang ia juga menirukan suara Bung Karno ketika membaca teks proklamasi, serta suara Bung Tomo ketika menggelorakan semangat juang para pemuda untuk bertempur melawan sekutu dalam peristiwa 10 November 1945. Suaranya sangat mirip dengan kedua orator handal itu terdengar persis. Karena pada itu belum ada mubaligh yang memiliki aksi kreatif seperti dirinya. Ini menjadi daya tarik yang mengesankan para jama’ah pendengar ceramahnya. Sejak tahun 1953 pula lah, Kiai Yasin menjadi guru di Madrasah Ibtidaiyah Kademangan Blitar. Kemudian, pada tahun berikutnya yakni tahun 1954, Kiai Yasin dipercaya menjadi guru agama di daerah Lodoyo yang dikenal sebagai daerah merah karena menjadi basis kegiatan orang komunis. Jarak Ledoyo dengan Kademangan sekitar 8 kilometer ke arah selatan. Namun, hal itu tidak menjadi halangan untuk mengajar dan berdakwah di tengah masyarakat meski ancaman kerap pemilu tahun 1955, Kiai Yasin berpidato dengan semangat membara membela partai NU yang beliau sebut sebagai partai para kiai. Walaupun beliau tidak masuk dalam kepengurusan partai kalangan kiai ini dan tidak sedang dicalonkan dan mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, beliau dalam pidatonya yang khas meminta orang-orang abangan yang dianggap kurang mengamalkan ajaran agama Islam meski mengaku sebagai Muslim untuk mencoblos Partai NU dalam pemilu 1955. Ia memiliki cara yang berbeda dan menyentuh ketika berpidata, kala itu.“Kalau Bapak-bapak dan Ibu-ibu, tidak suka dengan NU, silakan. Mau apa dengan NU, silakan. Tapi untuk pemilu kali ini, tolong, bantulah NU, sekali saja, cobloslah NU.”Sebagai idola rakyat, beliau selalu kendati tidak harus melepas identitas kesantrian dan ke-NU-annya. Keikhlasan beliau sangat kuat dirasakan. Suatu ketika, karena hujan deras, beliau tetap datang pada satu acara dan tetap bersemangat ceramah walau yang hadir pada saat itu hanya belasan orang akibat hujan dan becek. Bagi Kiai Yasin, ceramah di hadapan lima ribu atau di depan 5 orang sekalipun adalah sama. Bahkan beliau menjadi idola almarhum KH. Abdurrahman Wahid Gus Dur. Menurut catatan Gus Dur, dalam setiap perayaan haul Sunan Bonang di Tuban, Kiai Yasin selama 34 tahun tak pernah absen untuk memberikan ceramah dalam acara tersebut, meski tanpa diundang Kiai Yasin YusufPada awalnya, kekondangan Kiai Yasin Yusuf sebagai muballigh hanya di daerah Blitar. Pada saat itu, PKI masih berkuasa di tempat beliau mengajar dan hari ada empat orang pemuda yang dikabarkan telah bersiap membunuh Kiai Yasin. Mereka berada di tempat persembunyian dan akan memanah saat Kiai menyampaikan ceramah. Kiai Yasin berpesan kepada Ibrohim, seorang pendamping setianya untuk selalu bertawakal dan sabar atas segala yang akan terjadi. Ketika Kiai Yasin sedang menyampaikan ceramahnya di tengah-tengah warga NU, Ibrohim melihat keempat pemuda tadi menarik busur panah yang lancip dan beracun itu tepat mengarah kepada sang kiai. Begitu takutnya beliau apabila busur panah itu akan lepas dan mengenai Kiai Yasin, tapi apalah daya dia yang teringat pesan Kiai. Ibrohim hanya mampu berdoa untuk keselamatan teman sekaligus gurunya keanehan pun terjadi. Meski telah lama menarik busur panahnya, namun keempat orang itu tidak ada satupun yang dapat melepaskannya. Tapi tidak juga ada yang membatalkan sasaran anak panahnya. Mereka tetap saja menarik anak panahnya masing-masing dengan kuat-kuat tapi posisi mereka berdiri mematung tak bergerak. Sampai pada akhirnya Kiai Yasin turun panggung dan mendekati mereka. Setelah disentuh oleh Kiai, barulah mereka tersadar, ketakutan dan minta maaf. Di depan Kiai Yasin mereka mengaku sebagai anggota PKI yang bertugas membunuh Kiai Yasin. Mereka langsung bertobat dan mengucapkan kalimat syahadat di depan Kiai Yasin dan para jamaah. Sejak itu mereka aktif di Gerakan Pemuda Ansor dan rajin menjaga keselamatan para kiai kisah misteri yang menyelimuti perjalanan Kiai Yasin sebagai seorang muballighkondang ini. Salah satunya, menurut sebuah cerita, apabila mikrophon yang digunakan untuk ceramah terkena sabotase orang sehingga rusak, biasanya beliau langsung melepaskan sepatunya untuk digunakan sebagai ganti mikrophon. Dan, ternyata dapat berfungsi dengan baik, seperti mikrophon sungguhan dengan suara yang nyaring dan menggema sebagaimana mikrophon pada satu kisah lain disebutkan, ketika nyawa Kiai Yasin diancam orang, ia tidak pernah melakukan perlawanan secara fisik. Namun anehnya, pengancam itu malah seringkali mematung. Semua gerakannya terkunci. Tidak dapat bergerak, tapi tetap dalam kondisi sadar. Kuncian itu baru bisa lepas kalau sudah disentuh oleh Kiai dan TahlilanDiriwayatkan bil makna’ dari beberapa kiai, yang meriwayatkan bahwa KH. Yasin Yusuf telah memberikan penafsiran sederhana dan unik tentang Pancasila yang dikaitkan dengan tradisi Tahlilan. Kiai Yasin Yusuf dalam satu ceramahnya pernah menyampaikan“Kalau kita ingin melihat pelaksanaan Pancasila yang benar dan tepat, maka lihatlah orang-orang tahlilan yang biasanya di atas memiliki makna mendalam, antara lain *Pertama,* orang tahlilan itu pasti baca surat al-Ikhlas yang berbunyi “Qulhu Allohu Ahad Allohush Shomad”, yang di situ mengandung makna “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dan, di dalam tahlil pasti dibaca. Yang artinya, Tuhan itu satu, La ilaha illallah, tiada tuhan selain Allah.*Kedua,* orang tahlilan siapapun boleh datang dan ikut, tidak ada seleksi, tidak ada pertanyaan bisa tahlil apa tidak. Bahkan abangan atau yg blm bisa ngajipun boleh datang ke tahlilan. Tidak ada yang dibeda-bedakan. Itulah “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”.*Ketiga,* apabila kita datang di kampung-kampung, orang tahlilan itu duduknya bersila semua. Tidak dibedakan duduknya baik pejabat, kiai, santri, dan orang biasa. Semuanya duduk bersila, rata. Di samping duduknya bersila semua, rangkaian dzikir-dzikir yang dibaca pun sama dan seragam, cara bacanya pun bareng. Itulah “Persatuan Indonesia” terdapat dalam sila ke tiga Pancasila.*Keempat,* setelah itu, menjelang dimulai, di sanalah mereka mencari pemimpin, mereka saling tuding dan saling tunjuk, tapi juga saling menolak jika ditunjuk. Satunya bilang “Anda saja yang mimpin” dan yang lainnya juga bilang “Anda yang lebih pantas”, Di sinilah terjadi musyawarah kecil-kecilan mencari seorang pemimpin tahlil. Setelah satu orang terpilih, maka dialah yang memimpin tahlil, dan siapa yg mimpin doa tahlil. Itulah “Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan.”*Kelima,* setelah tahlil selesai, “berkat” bingkisan berupa makanan dikeluarkan untuk diberikan kepada orang-orang yang tahlillan. Semuanya mendapatkan “berkat” yang sama tanpa ada perbedaan baik dalam bentuk, tampilan dan isinya, semuanya sama. Itulah makna “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Walaupun memang terkadang ada sedikit tambahan “Berkat” buat yang cara Kiai Yasin Yusuf dalam memberikan pemahaman baik kepada masyarakat. Analogi, contoh-contoh, serta guyonan-guyonan segar selalu dihadirkan untuk menyampaikan pesan agar dapat diterima secara utuh oleh Yasin Yusuf wafat pada tanggal 6 Juli 1992 dan dimakamkan di Desa Tambak, Ngadi, Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri, sekitar 17 kilometer selatan kota Kediri. Makam itu dikenal dengan makam para ulama. Makam beliau berdampingan dengan makam KH. Ahmad Shiddiq Rais Am PBNU 1984-1991 dan KH. Hamim Djazuli Gus Miek dari Pesantren Ploso Kediri.
Dalamceramahnya, Gus Miftah menceritakan sosok tentang Kiai Yasin Yusuf dari Kecamatan Kademangan, Kabupaten Blitar Blitar. Tentunya saya tertarik dengan cerita tersebut, pertama karena saya pernah menulis artikel di media tentang sosok Kiai Yasin Yusuf Blitar, kedua saya mengenal dekat Ibu Nyai Yasin Blitar.
OLEH MUHYIDDIN Blitar, Jawa Timur, memiliki julukan sebagai Kota Proklamator. Di sanalah jenazah presiden pertama RI Ir Sukarno dikebumikan. Semasa hidupnya, Bung Karno dikenal luas akan kemampuannya dalam berorasi. Seperti halnya sang proklamator RI, seorang tokoh yang piawai berpidato berasal dari Blitar. Dialah KH Yasin Yusuf. Ulama tersebut piawai dalam berceramah dan memengaruhi massa. Orang-orang kota setempat menyebutnya sebagai “Singa Podium". Reputasinya tidak hanya dikenal di Blitar, tetapi juga seluruh Jawa. Bahkan, beberapa kali Kiai Yasin Yusuf diundang untuk berpidato dalam acara hari-hari besar keagamaan, semisal Maulid Nabi, di Istana Negara Jakarta. Ia tidak hanya mengenal Bung Karno, tetapi juga presiden kedua RI Soeharto. Dai yang cukup populer pada era dua orde tersebut lahir di Blitar pada 1934. Ia merupakan putra seorang tokoh Muslim yang kaya dan sangat dermawan di Blitar, yakni Kiai Yusuf. Sejak kecil, ayahnya telah mengajarinya dasar-dasar agama Islam sehingga dirinya pun memiliki bekal untuk menjalani kehidupan. Kiai Yasin tidak hanya mengenal Bung Karno, tetapi juga presiden kedua RI Soeharto. Belum banyak sejarawan yang menulis tentang kehidupan masa kecil serta karier pendidikan Kiai Yasin Yusuf. Bagaimanapun, beberapa sumber menyebutkan bahwa pada saat menginjak usia remaja, Yasin menyelesaikan pendidikan formalnya di Madrasah Ibtidaiyah Nahdlatul Ulama MINU Blitar. Selama menimba ilmu di MINU, ia juga belajar di Pondok Pesantren Dawuhan Kademangan Blitar. Lembaga tersebut saat itu diasuh KH Zahid Syafi’i. Pesantren yang berdiri pada 1873 ini berlokasi tidak jauh dari kompleks makam Presiden Sukarno di tengah Kota Blitar. Namun, institusi itu sekarang sudah berganti nama menjadi Pondok Pesantren Bustanul Muta’allimin. Pada 1953, Yasin menjadi guru di Madrasah Ibtidaiyah Kademangan Blitar. Setahun berikutnya, ia dipercaya menjadi guru agama di Lodoyo. Waktu itu, daerah tersebut dikenal sebagai basis kegiatan orang-orang komunis. Hingga 1960-an, situasi politik nasional memang cenderung “panas". Bung Karno memberi ruang bagi kelompok komunis, terutama yang bernaung di bawah Partai Komunis Indonesia PKI. Bahkan, presiden RI itu mencetuskan gagasan “Nasionalis Agama Komunis” Nasakom yang kemudian tidak disambut positif kebanyakan umat Islam. Dalam situasi waspada komunis, Yasin tumbuh sebagai seorang pendakwah. Bukan sekadar mubaligh yang menggelar pengajian atau majelis ilmu. Ia pun selalu memanfaatkan momen dakwah untuk melawan penetrasi ideologi komunisme di tengah masyarakat. Paham tersebut mengajarkan, antara lain, sikap antipati terhadap agama sehingga bertolak belakang dengan jati diri bangsa Indonesia. Kiai Yasin selalu memanfaatkan momen dakwah untuk melawan penetrasi ideologi komunisme di tengah masyarakat. Salah satu keahliannya yang berkaitan dalam menghalau paham komunisme ialah berorasi. Kemampuannya dalam seni berpidato sudah tampak sejak masih kecil. Kiai Yasin Yusuf tercatat, pertama kali tampil di atas podium umum pada 1953. Gaya bahasa, intonasi, dan konten ceramahnya yang khas menarik perhatian publik. Begitu pula dengan pembawaannya yang kharismatik. Setiap Ahad Wage, belasan ribu orang rela berbondong-bondong datang ke Alun-alun Blitar guna mendengarkan ceramah dari ulama tersebut. Lantang dan gigih Saat awal-awal berdakwah, Kiai Yasin sering kali diundang oleh warga Tulungagung. Ia tidak kenal lelah dalam menyampaikan ilmu. Dengan mengayuh sepeda ontelnya, ia pun sampai ke lokasi acara. Masyarakat setempat menyambutnya dengan hangat. Usai majelis taklim, sang kiai pulang kembali ke rumahnya. Namun, malam itu hujan turun dengan derasnya. Ia pun berteduh di sebuah mushala dan pulang keesokan paginya. Bersahaja, itulah sifat yang selalu ditampilkannya. Akan tetapi, kesederhanaan itu berpadu dengan keberaniannya dalam menyampaikan kebenaran. Ciri khas ini tampak dalam ceramah-ceramahnya. Gaya pidato Kiai Yasin terasa sangat khas dan berbeda dari umumnya ulama pada masanya. Intonasinya cenderung berapi-api. Dengan penuh semangat, ia mendeskripsikan berbagai suasana dari cerita-cerita yang ingin disampaikannya. Misalnya, ketika menuturkan kisah perang maka lisannya juga menirukan suara pesawat terbang, tembakan meriam, bom meledak, dan lain-lain. Ketika menuturkan kisah perang maka lisannya juga menirukan suara pesawat terbang, tembakan meriam, bom meledak, dan lain-lain. Ia pun cukup luwes menirukan Bung Karno ketika membacakan teks proklamasi RI. Terkadang ia juga meniru suara Bung Tomo ketika menggelorakan semangat juang para pemuda untuk bertempur melawan Sekutu dalam peristiwa 10 November 1945 di Surabaya. Setiap Rabiul Awal, dai kondang ini juga rutin diminta menjadi penceramah pada acara Maulid Nabi SAW di Istana Negara Jakarta. Meskipun hidup di zaman ketika PKI jaya-jayanya, Kiai Yasin tidak pernah takut dalam menyampaikan ceramah. Padahal, ia kerap menjadi incaran orang-orang komunis. Bahkan, sesudah gagalnya gerakan G30S/PKI, namanya ada dalam daftar target pembunuhan yang dibuat kaum komunis. Berdasarkan beberapa catatan, suatu waktu pernah ada orang empat pemuda PKI yang berencana membunuh ulama Nahdliyin tersebut. Mereka berada di satu tempat persembunyian untuk bersiap-siap memanah Kiai Yasin. Hanya tinggal menunggu sang kiai naik podium, menyampaikan ceramah di atas panggung. Sesudah gagalnya gerakan G30S/PKI, namanya ada dalam daftar target pembunuhan yang dibuat kaum komunis. Kiai Yasin saat berceramah kurang suka disela, apalagi diganggu. Ia pun berpesan kepada pendampingnya yang bernama Ibrahim. Apabila ada tanda-tanda “bahaya”, pemuda itu sebaiknya bertawakal, sabar, dan berdoa kepada Allah SWT. Lantas, Kiai Yasin berceramah. Keempat pemuda itu mulai mempersiapkan serangan dari jarak jauh. Namun, gerak-gerik mereka dilihat Ibrahim. Seketika, pendamping ini mengingat perkataan Kiai Yasin untuk selalu tawakal. Akhirnya, dirinya hanya berdoa untuk keselamatan gurunya tersebut. Tiba-tiba, sebuah kejanggalan terjadi. Keempat pemanah yang akan menyakiti Kiai Yasin tampak diam seperti patung. Akhirnya, dai tersebut dapat berceramah hingga tuntas. Sesudah itu, Kiai Yasin turun panggung dan berjalan mendekati keempat pemuda tersebut. Mereka semua turun sambil gemetar ketakutan. Setelah disentuh tangan sang kiai, barulah mereka tersadar dan meminta maaf. Inilah salah satu cerita karomah tentang Kiai Yasin. Sebelum pulang, para remaja tersebut mengucapkan dua kalimat syahadat di depan dai itu dan jamaah. Sejak saat itu, keempat pemuda itu aktif di Gerakan Pemuda GP Ansor dan selalu menjaga keselamatan para alim ulama. Alim Nahdliyin KH Yasin Yusuf adalah seorang mubaligh yang secara kultural termasuk Nahdliyin walaupun dia tidak pernah masuk dalam struktural Nahdlatul Ulama NU. Komitmennya terhadap jam’iyyah ini tak diragukan lagi. Ia diketahui dekat dengan seorang ulama pendiri NU, yakni KH Abdul Wahab Hasbullah. Tidak hanya menyampaikan ajaran Islam di tengah masyarakat, Kiai Yasin juga turut berkontribusi dalam bidang politik umat. NU pada era Orde Lama sempat menjadi sebuah partai politik. Maka menjelang Pemilihan Umum Pemilu 1955, sang kiai aktif mengampanyekan Partai NU, terutama kepada orang-orang Jawa Islam Abangan. “Kalau Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, tidak suka dengan NU, silakan. Mau apa dengan NU, silakan. Tapi untuk pemilu kali ini, tolong, bantulah NU, sekali saja, cobloslah NU,” kata Kiai Yasin dalam pidatonya menjelang pesta demokrasi tersebut. Sebagai dai yang tersohor pada masanya, Kiai Yasin memiliki daya pikat massa. Saking penting pengaruhnya, ia pernah didatangi utusan Presiden Soeharto. Sang delegasi menawarkan kepadanya jabatan menjadi anggota DPR-RI, asalkan meninggalkan Partai NU. Karena sudah cinta kepada jam’iyyah, tawaran tersebut ditolaknya secara baik-baik. Sang delegasi menawarkan kepadanya jabatan menjadi anggota DPR-RI, asalkan meninggalkan Partai NU. Presiden keempat RI KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur disebut-sebut sangat menghormati Kiai Yasin. Berdasarkan catatan Gus Dur, dalam setiap perayaan haul Sunan Bonang di Tuban, ulama yang pandai berorasi itu selama puluhan tahun tak pernah absen. Ketika menjabat sebagai ketua umum PBNU sekitar tahun 1986, Gus Dur pernah memenuhi undangan pernikahan putri Kiai Yasin di Kademangan Blitar. Dalam sambutannya, cucu Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari itu menyampaikan, kontribusi sang tuan rumah sangat banyak terhadap jam’iyyah. “NU tidak akan mampu membalas jasa-jasa beliau. Yang bisa saya lakukan hanyalah mendatangi undangan pernikahan putri beliau,” kata Gus Dur saat itu. KH Yasin Yusuf wafat pada 6 Juli 1992. Jenazahnya dimakamkan di Desa Tambak, Ngadi, Kecamatan Mojo—sekitar 17 kilometer arah selatan Kota Kediri, Jawa Timur. Pusara sang almarhum berdampingan dengan makam Gus Miek dan makam rais aam PBNU periode 1984-1991, KH Ahmad Shiddiq. Selama hidupnya, Kiai Yasin dikaruniai dua putri dari seorang istri yang pertama. Setelah sang istri wafat, ia menikah lagi dengan Nyai Mukhtatimah. Wanita yang kemudian dikenal dengan sapaan Ibu Nyai Yasin itu melahirkan seorang putra. Cara Unik Menjelaskan Pancasila Dalam berdakwah, KH Yasin Yusuf selalu mengedepankan aspek komunikatif. Dengan begitu, pesan-pesan kebajikan yang disampaikannya dapat dimengerti masyarakat sesuai daya tangkap mereka masing-masing. Bahkan, orang awam sekalipun akan memahami isi ceramahnya. Sebagai contoh, Kiai Yasin Yusuf beberapa kali memahamkan publik mengenai Pancasila. Ideologi kebangsaan Indonesia itu disampaikannya dengan cara-cara yang dapat diterima masyarakat dengan mudah. Sang kiai menganalogikannya dengan tradisi yang berkembang di tengah penduduk. “Kalau kita ingin melihat pelaksanaan Pancasila yang benar dan tepat, maka lihatlah orang-orang tahlilan—amalan yang biasanya diamalkan,” kata Kiai Yasin pada suatu kesempatan tabligh akbar. Pesan tersebut memiliki makna yang mendalam. Pertama, menurut dia, saat tahlilan orang-orang pasti membaca ayat dalam surah al-Ikhlash, “Qul huwa Allahu ahad.” Artinya, “Katakanlah Muhammad, Dialah Allah, Yang Maha Esa". Kalau kita ingin melihat pelaksanaan Pancasila yang benar dan tepat, maka lihatlah orang-orang tahlilan. Kemudian, ayat itu disusul dengan, “Allahush Shamad.” Yakni, “Allah tempat meminta segala sesuatu.” Kiai Yasin menerangkan, dalam kedua ayat tersebut terkandung makna sila pertama Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Kedua, siapapun boleh datang dan mengikuti tahlilan. Tidak ada seleksi untuk itu. Tidak ada pertanyaan, “Anda bisa tahlil atau tidak?” Bahkan, masyarakat abangan atau yang belum bisa mengaji pun boleh datang. Itulah makna sila kedua, “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,” Ketiga, orang yang tahlilan itu duduknya bersila semua. Maka tidak ada beda antara pejabat, kiai, santri, dan orang biasa. Rangkaian zikir yang dibaca pun sama dan seragam. Hal ini mengandung makna sila ketiga, “Persatuan Indonesia". Keempat, saat akan memulai tahlilan, warga biasanya akan menunjuk pemimpin. Ada yang bersedia saat ditunjuk. Ada pula yang menolak, lalu mengatakan, “Bapak saja yang memimpin” atau “Saudara lebih pantas”. Dari situlah terjadi musyawarah. Setelah satu orang terpilih, dialah yang kemudian memimpin tahlil ataupun doa. Ini mengandung makna sila keempat, yakni “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan". Kelima, setelah tahlil usai, berkat atau bingkisan makanan biasanya diberikan oleh tuan rumah kepada hadirin. Semuanya mendapatkan berkat yang sama, tanpa ada perbedaan, baik dalam bentuk, tampilan maupun isinya. Itulah makna sila kelima, “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia". ngajiroso among rogo , kebatinan , kejawen , mencari guru sejati , guru sejati , ngaji roso , among roso , ngaji jawa , ngaji roso olah roso , ngaji roso te Kecualibisa men-download ceramah, tausiyah, atau pengajian di sini, Anda bisa pula men-download rekaman konsultasi kesehatan herbal yang insya Allah sungguh-sungguh berguna. Sebagai Seorang Da'i, Penceramah, Ustadz, dan lain-lain, memiliki pengetahuan serta wawasan yang lebih dari mad'u (yang didakwahi) yakni suatu tuntutan yang patut KHYasin yusuf Blitar, Waliyullah Pejuang NU yang Penuh Karomah Di Blitar pernah ada seorang kiai yang kharismatik yang keilmuannya dikenal dan dikagumi oleh kalangan istana negara. Muballigh
KiaiYasin Yusuf tercatat, pertama kali tampil di atas podium umum pada 1953. Gaya bahasa, intonasi, dan konten ceramahnya yang khas menarik perhatian publik. Begitu pula dengan pembawaannya yang kharismatik. Setiap Ahad Wage, belasan ribu orang rela berbondong-bondong datang ke Alun-alun Blitar guna mendengarkan ceramah dari ulama tersebut.
fasUr.
  • b6ey9jq1fv.pages.dev/463
  • b6ey9jq1fv.pages.dev/169
  • b6ey9jq1fv.pages.dev/368
  • b6ey9jq1fv.pages.dev/258
  • b6ey9jq1fv.pages.dev/176
  • b6ey9jq1fv.pages.dev/79
  • b6ey9jq1fv.pages.dev/445
  • b6ey9jq1fv.pages.dev/151
  • ceramah kh yasin yusuf blitar